Selamat Datang

Selamat Datang
Selamat Datang

Kode Etik

Kode Etik
kode

Kamis, 29 Desember 2011

PERTUMBUHAN KOPERASI MENGALAMI PENINGKATAN

PERTUMBUHAN KOPERASI MENGALAMI PENINGKATAN

Kupang-SI. Di mata rakyat Indonesia, Koperasi di NTT tidak lagi dipandang sebelah mata karena sudah menjadi kebutuhan masyarakat NTT dan selalu mendapatkan penghargaan sebagai Juara dan Duta Koperasi Indonesia.

Menurut Kepala Dinas Koperasi Nusa Tenggara Timur Paulus R. Tadung, saat ditemui di ruang kerjanya pagi tadi (6/12) bahwa pertumbuhan koperasi di NTT selalu mengalami peningkatan mulai dari mutu dan jumlahnya di NTT, walaupun stimulannya terhadap masyarakat kecil tapi perkembangan koperasi sangat pesat dan diperkirakan setiap tahun hampir 200 koperasi mendaftar tetapi yang mendapat stimulan hanya 50 koperasi.

Dikatakan lebih lanjut bahwa perkembangan koperasi di NTT lebih banyak di daratan Flores dan urutan ke-2 adalah daratan Timor yang mayoritasnya di Kota Kupang dan Kabupaten Kupang. Setelah itu diikuti kabupaten Alor, Rote dan lain-lain.

Sedangkan yang paling terbelakang adalah Sumba Tengah dan Sumba Barat। Kata Tadung kepada wartawan Suryainside.com, Tadung juga mengatakan bahwa pada tahun 2012 nanti untuk sementara akan fokus pada pelatihan, stimulan dan membantu biaya akta notaris karena kalau masyarakat sendiri yang mengurus akta notaris akan cenderung lebih mahal, tetapi melaui dinas koperasi akan mendapatkan keringanan harga dengan membangun kerja sama dengan pihak instansi terkait.

Target Kepala Dinas Koperasi NTT adalah 250 Koperasi baru yang akan dibantu Akta Notaris dengan nilai bantuan Rp। 250 juta. Ketika dikonfirmasi lebih lanjut terkait minat masyarakat daripada Perbankan dengan koperasi, Tadung mengatakan bahwa pihak Perbankan sangat sulit membantu masyarakat kecil tetapi koperasi ada untuk membantu masyarakat tanpa pembedaan kelas sosial, makanya pada tahun 2012 akan direalisasikan dana sebesar 5 milyar untuk koperasi, namun saat ini masih sedang dibahas di DPRD provinsi NTT. Tandasnya pada media ini.

(Laurens/Herry)


Sumberberita: http://www.suryainside.com/?mod=3&idb=1910#.TuNlQumN_30.facebook

Rabu, 20 Juli 2011

PENDIDIKAN ANGGOTA KOPERAS I UNTUK 100 KOPERASI SE-MALUKU

PENDIDIKAN ANGGOTA KOPERAS I UNTUK 100 KOPERASI SE-MALUKU

Dalam rangka menyambut HUT Koperasi Ke-64 Lapenkop Wilayah Maluku bekerja sama dengan Panitia Hari Ulang Tahun Koperasi menyelenggarahkan pendidikan Anggota Koperasi untuk 100 Koperasi pada tanggal 11 Juli 2011 di provinsi Maluku, kegiatan ini sebagai upaya untuk memberikan bekal pemahaman tentang perkoperasian kepada anggota koperasi sebagai ujung tombak perekonomian masyarakat dalam usaha untuk memberdayakan diri sendiri dan masyarakat pada umumnya, anggota sebagai pengguna jasa koperasi sekaligus sebagai pemilik diharapkan mampu untuk memainkan peran strategis nya dalam menggunakan jasa koperasi, memodali, mengawasi jalannya koperasi serta merasa memeliki dan turut menanggung atas resiko bisnis koperasi, demikian cuplikan sambutan Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Maluku yang di wakili oleh Kepala UPTD Bapak Janes Patty, pada sambutannya sekaligus membuka dengan resmi kegiatan dimaksud। Ketua Dekopin wilayah maluku Drs H Alidad Hataul juga mengaharapkan agar Pemerinta dalam Hal ini Dinas Koperasi dan UMKM agar lebih serius dan jeli melihat persoalan koperasi dan gerakan koperasi sehingga program program pembinaan yang dilakukan pemerintah tidak salah सस्रण kegiatan yang dilaksanakan berjalan sesuai dengan perencanaan. diharapkan kedepan ada peningkatan kerja sama antar Lapenkop-Dekopin dan Pemerintah Provinsi Maluku dapat berjalan dengan lebih baik. tak ketinggalan hadir juga pada kegiatan tersebut Pimpinan BTN Cabang Ambon, sekaligus mengisi seminar pada hari itu dengan materi "Peran Perbankan Dalam Upaya mendorong peningkatan Koperasi dan UMKM

Dari
http://lapenkopwilayahmaluku.blogspot.com/2011/07/pendidikan-anggota-koperas-i-untuk-100.हटमल




Rabu, 08 Juni 2011

TATA CARA PEMBENTUKAN LAPENKOP WILAYAH DAN DAERAH

TATA CARA

PEMBENTUKAN LAPENKOP WILAYAH DAN DAERAH

PENDAHULUAN

Dekopin Wilayah adalah organisasi gerakan koperasi yang bertugas menampung, membahas dan menyalurkan aspirasi gerakan koperasi. selain itu berperan juga dalam mengembangkan jaringan komunikasi dan bisnis, serta meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) melalui pendidikan dan pelatihan perkoperasian bagi anggota dan masyarakat.

Kualitas SDM adalah salah satu persoalan terbesar yang dihadapi oleh gerakan koperasi di Tanah Air. Ini bisa dilihat dari rendahnya partisipasi anggota terhadap koperasinya. Indikatornya bisa dilihat dari keterlibatan dan keaktifan anggota dalam:

a. Memberikan kontribusi modal

b. Memanfaatkan pelayanan usaha yang disediakan pada rapat-rapat anggota (kelompok)

c. Mengawasi pengurus dan manajemen dalam mengelola koperasi

d. Menanggung resiko bila terjadi kerugian

Untuk mendukung tugas-tugas tersebut, maka Rapat Pimpinan DEKOPIN tahun 1995 di Jakarta memutuskan untuk membentuk lembaga yang khusus menangani pendidikan dan pelatihan , LAPENKOP (Lembaga Pendidikan Perkoperasian). Lembaga ini adalah lembaga otonom milik gerakan koperasi Indonesia (DEKOPIN)

Dalam bekerjanya, LAPENKOP menggunakan jaringan gerakan koperasi yang sudah ada, yiatu DEKOPIN PUSAT, DEKOPIN WILAYAH, DEKOPIN DAERAH dan Koperasi Primer. Untuk itu, maka di tingkat pusat dibentuk LAPENKOP Nasional. Di tingkat Wilayah dibentuk LAPENKOP Wilayah dan di tingkat daerah dibentuk LAPENKOP Daerah. Kemudian di tingkat wilayah, LAPENKOP memiliki karyawan sendiri berikut pelatih local. Di tingkat daerah, LAPENKOP memilki karyawan sendiri berikut pemandu local.

LAPNKOP Nasional bertugas merancang kurikulum:membuat bahan, media, dan teknologi belajar:serta memperkuat jaringan (local dan international). LAPENKOP Wilayah bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pelatihan pelatih, pendidikan pengurus (pengawas), dan lokakarya. LAPENKOP Daerah bertanggung jawab penyelanggaraan pendidikan anggota dan lokakarya.

Oleh karena itu,LAPENKOP Nasional , LAPENKOP Wilayah, dan LAPENKOP Daerah adalah suatu gerakan yang utuh (integral). Keberadaan mereka dengan tugasnya masing-masing saling mendukung dan memperkuat. Dengan adanya jaringan kerja seperti ini, kita dapat menjangkau sasaran yang lebih luas dalam jumlah yang besar, berbiaya relative murah dan programnya dapat berkelanjutan.

Dalam menjalankan aksinya, keluarga besar LAPENKOP (dari tingkat nasional sampai daerah) bepedoman kepada visi, misi, tujuan, strategi program dan budaya kerja yang sama.

PEMBENTUKAN LAPENKOP WILAYAH

Langkah-Langkah LAPENKOP Nasional:

(1) Mensosialisasikan program LAPENKOP di hadapan gerakan koperasi wilayah.

(2) Mengadakan demonstrasi pendidikan pengurus dan/atau anggota koperasi.

(3) Mengadaan rapat perencanaan pembentukan LAPENKOP Wilayah yang pesertanya: Pimpinan DEKOPIN Wilayah dan Direktur LAPENKOP Nasional.

(4) Bersama-sama Pengurus DEKOPINWIL mewawancarai kandidat staf LAPENKOP Wilayah.

(5) Membuat program magang bagi staf LAPENKOP Wilayah maksimal selama 3 (tiga) bulan.

(6) Membantu dalam mengadakan kelengkapan sarana dan prasarana kantor LAPENKOP Wilayah.

Langkah-langkah DEKOPIN Wilayah:

(1) Membuat usulan pembentukan LAPENKOP Wilayah, ditujukan kepada Pimpinan DEKOPIN Pusat dengan tembusan kepada Direktur LAPENKOP Nasional.

(2) Membuat pengumuman lowongan staf LAPENKOP Wilayah secara terbuka.

(3) Bersama-sama Direktur LAPENKOP Nasional mewawancarai kandidat staf LAPENKOP Wilayah.

(4) Membuat Surat Keputusan Pimpnan DEKOPIN Wilayah tentang pengangkatan staf LAPENKOP Wilayah.

(5) Memagangkan karyawan LAPENKOP Wilayah selama tiga bulan. Program dan lokasi pemagangan ditetapkan oleh LAPENKOP Nasional.

(6) Melengkapi fasilitas kantor berikut bahan dan media belajar LAPENKOP Wilayah sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh LAPENKOP Nasional.

Syarat-syarat lain yang penting:

(1) Adanya kesediaan gerakan koperasi dan instansi terkait di wilayah untuk menggunakan jasa pendidikan dan pelatihan LAPENKOP.

(2) DEKOPIN Wilayah bersedia membayar iuran mitra kepada LAPENKOP Nasional yang besarnya disesuaikan tiap tahun.

(3) Adanya kesepakatan gerakan koperasi untuk mendanai keberlanjutan program LAPENKOP Wilayah.

(4) Memiliki karyawan, minimal 4 orang, terdiri dari:

§ 1 orang kepala.

§ 2 orang pelatih.

§ 1 orang administrasi dan keuangan yang bisa juga difungsikan sebagai pelatih.

Kriterianya adalah:

- Berlaku bagi laki-laki dan perempuan.

- Berusia maksimal 35 tahun.

- Lulusan Perguruan Tinggi (minimal D-3 dan atau S-1).

- Mengerti perkoperasian.

- Bersedia bekerja “full time”

- Pernah aktif di organisasi kemahasiswaan.

(5) Memiliki sarana dan pra sarana, kantor seperti berikut ini:

§ Ruangan kantor, ukuran minimal 4 X 6 meter persegi.

§ Sarana telepon dan facsimile.

§ Komputer, printer, dan modem.

§ 4 unit meja dan kursi kantor.

§ Filling cabinet, lemari arsip, cash box, white board (soft board), over head projector (OHP), dan media DIKLAT.

PEMBENTUKAN LAPENKOP DAERAH

Langkah-langkah LAPENKOP Wilayah:

(1) Mensosialisasikan program LAPENKOP di hadapan gerakan koperasi daerah.

(2) Mengadakan demonstrasi pendidikan pengurus dan atau anggota koperasi.

(3) Menyelenggarakan pelatihan pemandu.

(4) Mengadakan rapat perencanaan pembentukan LAPENKOP Daerah yang `pesertanya terdiri dari: Pimpinan DEKOPIN Daerah dan beberapa pengurus `koperasi primer atau sekunder tingkat kabupaten, serta Kepala LAPENKOP Wilayah.

Langkah-langkah DEKOPIN Daerah:

(1) Membuat usulan pembentukan LAPENKOP Daerah, ditujukan kepada Pimpinan DEKOPIN Wilayah tembusan kepada Kepala LAPENKOP Wilayah.

(2) Membuat pemberitahuan lowongan pekerjaan secara terbuka bagi seluruh pemandu di daerahnya.

(3) Memagangkan karyawan LAPENKOP Daerah. Program dan lokasi magang ditetapkan oleh LAPENKOP Wilayah.

(4) Membuat Surat Keputusan Pimpinan DEKOPIN Daerah tentang pengangkatan karyawan LAPENKOP Daerah.

(5) Melangkapi fasilitas kantor berikut bahan dan media belajar LAPENKOP Daerah sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh LAPENKOP Nasional.

Syarat-syarat lain yang penting:

1) Adanya kesediaan gerakan koperasi dan instansi terkait untuk menggunakan jasa pendidikan dan pelatihan LAPENKOP.

2) DEKOPIN Daerah bersedia membayar iuran mitra kepada LAPENKOP Wilayah yang besarnya disesuaikan setiap tahun.

3) Adanya kesepakatan gerakan koperasi di daerah untuk mendanai keberlanjutan program LAPENKOP Daerah.

4) Memiliki karyawan, minimal 3 orang, terdiri dari :

§ 1 orang kepala.

§ 1 orang bagian DIKLAT.

§ 1 orang administrasi dan keuangan.

Kriterianya adalah:

- Berlaku bagi laki-laki dan perempuan.

- Pemandu Aktif. Diusahakan sarjana.

- Dapat bekerja paruh waktu atau secara penuh.

- Mampu berkomunikasi dan membangun akses dengan berbagai instansi terkait.

5) Memiliki sarana dan prasarana kantor:

§ Ruangan Kantor, ukuran minimal 4 x 6 meter persegi.

§ Sarana telepon dan facsimile.

§ Komputer, printer, dan modem (jika sudah ada jaringan internet).

§ 3 unit meja dan kursi kantor.

§ Filling cabinet, lemari arsip, cash box, white board (soft board).

PERKIRAAN ANGGARAN WILAYAH

a) Peralatan kantor dan Bahan Belajar Pendidikan Anggota, Pelatihan Pemandu dan Pendidikan Pengurus.

Besarnya biaya tersebut di atas dihitung kemudian.



Republish, 09 June 2011

Admin



Kamis, 14 April 2011

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

Untuk menjawab beberapa pertanyaan teman-teman, inilah jawabanya, semoga bermanfaat.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 20 TAHUN 2008

TENTANG

USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

a.

bahwa masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus diwujudkan melalui pembangunan perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi;

b.

bahwa sesuai dengan amanat Ketetapan Majelis Permusyarawatan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVI/MPR-RI/1998 tentang Politik Ekonomi dalam rangka Demokrasi Ekonomi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah perlu diberdayakan sebagai bagian integral ekonomi rakyat yang mempunyai kedudukan, peran, dan potensi strategis untuk mewujudkan struktur perekonomian nasional yang makin seimbang, berkembang, dan berkeadilan;

c.

bahwa pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana dimaksud dalam huruf b, perlu diselenggarakan secara menyeluruh, optimal, dan berkesinambungan melalui pengembangan iklim yang kondusif, pemberian kesempatan berusaha, dukungan, perlindungan, dan pengembangan usaha seluas-luasnya, sehingga mampu meningkatkan kedudukan, peran, dan potensi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan dan peningkatan pendapatan rakyat, penciptaan lapangan kerja, dan pengentasan kemiskinan;

d.

bahwa sehubungan dengan perkembangan lingkungan perekonomian yang semakin dinamis dan global, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, yang hanya mengatur Usaha Kecil perlu diganti, agar Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah di Indonesia dapat memperoleh jaminan kepastian dan keadilan usaha;

e.

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

Mengingat:

Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

UNDANG-UNDANG TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

  1. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
  2. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
  3. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
  4. Usaha Besar adalah usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh badan usaha dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan lebih besar dari usaha menengah, yang meliputi usaha nasional milik negara atau swasta, usaha patungan, dan usaha asing yang melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia.
  5. Dunia Usaha adalah Usaha Mikro, Usaha Kecil, Usaha Menengah dan Usaha Besar yang melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia dan berdomisili di Indonesia.
  6. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  7. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
  8. Pemberdayaan adalah upaya yang dilakukan Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat secara sinergis dalam bentuk penumbuhan iklim dan pengembangan usaha terhadap Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sehingga mampu tumbuh dan berkembang menjadi usaha yang tangguh dan mandiri.
  9. Iklim Usaha adalah kondisi yang diupayakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk memberdayakan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah secara sinergis melalui penetapan berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan di berbagai aspek kehidupan ekonomi agar Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah memperoleh pemihakan, kepastian, kesempatan, perlindungan, dan dukungan berusaha yang seluas-luasnya.
  10. Pengembangan adalah upaya yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat untuk memberdayakan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah melalui pemberian fasilitas bimbingan pendampingan dan bantuan perkuatan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan dan daya saing Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
  11. Pembiayaan adalah penyediaan dana oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat melalui bank, koperasi, dan lembaga keuangan bukan bank, untuk mengembangkan dan memperkuat permodalan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
  12. Penjaminan adalah pemberian jaminan pinjaman Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah oleh lembaga penjamin kredit sebagai dukungan untuk memperbesar kesempatan memperoleh pinjaman dalam rangka memperkuat permodalannya.
  13. Kemitraan adalah kerjasama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan Usaha Besar.
  14. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
  15. Menteri Teknis adalah menteri yang secara teknis bertanggung jawab untuk mengembangkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam sektor kegiatannya.

BAB II

ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah berasaskan:

a. kekeluargaan;

b. demokrasi ekonomi;

c. kebersamaan;

d. efisiensi berkeadilan;

e. berkelanjutan;

f. berwawasan lingkungan;

g. kemandirian;

h. keseimbangan kemajuan; dan

i. kesatuan ekonomi nasional.

Pasal 3

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah bertujuan menumbuhkan dan mengembangkan usahanya dalam rangka membangun perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang berkeadilan.

BAB III

PRINSIP DAN TUJUAN PEMBERDAYAAN

Bagian Kesatu

Prinsip Pemberdayaan

Pasal 4

Prinsip Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah:

a. penumbuhan kemandirian, kebersamaan, dan kewirausahaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah untuk berkarya dengan prakarsa sendiri;

b. perwujudan kebijakan publik yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan;

c. pengembangan usaha berbasis potensi daerah dan berorientasi pasar sesuai dengan kompetensi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;

d. peningkatan daya saing Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; dan

e. penyelenggaraan perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian secara terpadu.

Bagian Kedua

Tujuan Pemberdayaan

Pasal 5

Tujuan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah:

a. mewujudkan struktur perekonomian nasional yang seimbang, berkembang, dan berkeadilan;

b. menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah menjadi usaha yang tangguh dan mandiri; dan

c. meningkatkan peran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam pembangunan daerah, penciptaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan pengentasan rakyat dari kemiskinan.

BAB IV

KRITERIA

Pasal 6

(1) Kriteria Usaha Mikro adalah sebagai berikut:

a. memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

(2) Kriteria Usaha Kecil adalah sebagai berikut:

a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).

(3) Kriteria Usaha Menengah adalah sebagai berikut:

a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).

(4) Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan ayat (2) huruf a, huruf b, serta ayat (3) huruf a, huruf b nilai nominalnya dapat diubah sesuai dengan perkembangan perekonomian yang diatur dengan Peraturan Presiden.

BAB V

PENUMBUHAN IKLIM USAHA

Pasal 7

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menumbuhkan Iklim Usaha dengan menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang meliputi aspek:

a. pendanaan;

b. sarana dan prasarana;

c. informasi usaha;

d. kemitraan;

e. perizinan usaha;

f. kesempatan berusaha;

g. promosi dagang; dan

h. dukungan kelembagaan.

(2) Dunia Usaha dan masyarakat berperan serta secara aktif membantu menumbuhkan Iklim Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 8

Aspek pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a ditujukan untuk:

a. memperluas sumber pendanaan dan memfasilitasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah untuk dapat mengakses kredit perbankan dan lembaga keuangan selain bank;

b. memperbanyak lembaga pembiayaan dan memperluas jaringannya sehingga dapat diakses oleh Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;

c. memberikan kemudahan dalam memperoleh pendanaan secara cepat, tepat, murah, dan tidak diskriminatif dalam pelayanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

d. membantu para pelaku Usaha Mikro dan Usaha Kecil untuk mendapatkan pembiayaan dan jasa/produk keuangan lainnya yang disediakan oleh perbankan dan lembaga keuangan bukan bank, baik yang menggunakan sistem konvensional maupun sistem syariah dengan jaminan yang disediakan oleh Pemerintah.

Pasal 9

Aspek sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b ditujukan untuk:

a. mengadakan prasarana umum yang dapat mendorong dan mengembangkan pertumbuhan Usaha Mikro dan Kecil; dan

b. memberikan keringanan tarif prasarana tertentu bagi Usaha Mikro dan Kecil.

Pasal 10

Aspek informasi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c ditujukan untuk:

  1. membentuk dan mempermudah pemanfaatan bank data dan jaringan informasi bisnis;

b. mengadakan dan menyebarluaskan informasi mengenai pasar, sumber pembiayaan, komoditas, penjaminan, desain dan teknologi, dan mutu; dan

c. memberikan jaminan tranparansi dan akses yang sama bagi semua pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah atas segala informasi usaha.

Pasal 11

Aspek kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d ditujukan untuk:

a. mewujudkan kemitraan antar-Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;

b. mewujudkan kemitraan antara Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Usaha Besar;

c. mendorong terjadinya hubungan yang saling menguntungkan dalam pelaksanaan transaksi usaha antar-Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;

d. mendorong terjadinya hubungan yang saling menguntungkan dalam pelaksanaan transaksi usaha antara Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Usaha Besar;

e. mengembangkan kerjasama untuk meningkatkan posisi tawar Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;

f. mendorong terbentuknya struktur pasar yang menjamin tumbuhnya persaingan usaha yang sehat dan melindungi konsumen; dan

g. mencegah terjadinya penguasaan pasar dan pemusatan usaha oleh orang perorangan atau kelompok tertentu yang merugikan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

Pasal 12

(1) Aspek perizinan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf e ditujukan untuk:

  1. menyederhanakan tata cara dan jenis perizinan usaha dengan sistem pelayanan terpadu satu pintu; dan
  2. membebaskan biaya perizinan bagi Usaha Mikro dan memberikan keringanan biaya perizinan bagi Usaha Kecil.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara permohonan izin usaha diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 13

(1) Aspek kesempatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf f ditujukan untuk:

a. menentukan peruntukan tempat usaha yang meliputi pemberian lokasi di pasar, ruang pertokoan, lokasi sentra industri, lokasi pertanian rakyat, lokasi pertambangan rakyat, lokasi yang wajar bagi pedagang kaki lima, serta lokasi lainnya;

b. menetapkan alokasi waktu berusaha untuk Usaha Mikro dan Kecil di subsektor perdagangan retail;

c. mencadangkan bidang dan jenis kegiatan usaha yang memiliki kekhususan proses, bersifat padat karya, serta mempunyai warisan budaya yang bersifat khusus dan turun-temurun;

d. menetapkan bidang usaha yang dicadangkan untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah serta bidang usaha yang terbuka untuk Usaha Besar dengan syarat harus bekerja sama dengan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;

e. melindungi usaha tertentu yang strategis untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;

f. mengutamakan penggunaan produk yang dihasilkan oleh Usaha Mikro dan Kecil melalui pengadaan secara langsung;

g. memprioritaskan pengadaan barang atau jasa dan pemborongan kerja Pemerintah dan Pemerintah Daerah; dan

h. memberikan bantuan konsultasi hukum dan pembelaan.

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pengawasan dan pengendalian oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Pasal 14

(1) Aspek promosi dagang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf g, ditujukan untuk:

a. meningkatkan promosi produk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah di dalam dan di luar negeri;

b. memperluas sumber pendanaan untuk promosi produk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah di dalam dan di luar negeri;

c. memberikan insentif dan tata cara pemberian insentif untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang mampu menyediakan pendanaan secara mandiri dalam kegiatan promosi produk di dalam dan di luar negeri; dan

d. memfasilitasi pemilikan hak atas kekayaan intelektual atas produk dan desain Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam kegiatan usaha dalam negeri dan ekspor.

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Pasal 15

Aspek dukungan kelembagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf h ditujukan untuk mengembangkan dan meningkatkan fungsi inkubator, lembaga layanan pengembangan usaha, konsultan keuangan mitra bank, dan lembaga profesi sejenis lainnya sebagai lembaga pendukung pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

BAB VI

PENGEMBANGAN USAHA

Pasal 16

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi pengembangan usaha dalam bidang:

a. produksi dan pengolahan;

b. pemasaran;

c. sumber daya manusia; dan

d. desain dan teknologi.

(2) Dunia usaha dan masyarakat berperan serta secara aktif melakukan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengembangan, prioritas, intensitas, dan jangka waktu pengembangan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 17

Pengembangan dalam bidang produksi dan pengolahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a dilakukan dengan cara:

a. meningkatkan teknik produksi dan pengolahan serta kemampuan manajemen bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;

b. memberikan kemudahan dalam pengadaan sarana dan prasarana, produksi dan pengolahan, bahan baku, bahan penolong, dan kemasan bagi produk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;

c. mendorong penerapan standarisasi dalam proses produksi dan pengolahan; dan

d. meningkatkan kemampuan rancang bangun dan perekayasaan bagi Usaha Menengah.

Pasal 18

Pengembangan dalam bidang pemasaran, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b dilakukan dengan cara:

a. melaksanakan penelitian dan pengkajian pemasaran;

b. menyebarluaskan informasi pasar;

c. meningkatkan kemampuan manajemen dan teknik pemasaran;

d. menyediakan sarana pemasaran yang meliputi penyelenggaraan uji coba pasar, lembaga pemasaran, penyediaan rumah dagang, dan promosi Usaha Mikro dan Kecil;

e. memberikan dukungan promosi produk, jaringan pemasaran, dan distribusi; dan

f. menyediakan tenaga konsultan profesional dalam bidang pemasaran.

Pasal 19

Pengembangan dalam bidang sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c dilakukan dengan cara:

a. memasyarakatkan dan membudayakan kewirausahaan;

b. meningkatkan keterampilan teknis dan manajerial; dan

c. membentuk dan mengembangkan lembaga pendidikan dan pelatihan untuk melakukan pendidikan, pelatihan, penyuluhan, motivasi dan kreativitas bisnis, dan penciptaan wirausaha baru.

Pasal 20

Pengembangan dalam bidang desain dan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d dilakukan dengan:

a. meningkatkan kemampuan di bidang desain dan teknologi serta pengendalian mutu;

b. meningkatkan kerjasama dan alih teknologi;

c. meningkatkan kemampuan Usaha Kecil dan Menengah di bidang penelitian untuk mengembangkan desain dan teknologi baru;

d. memberikan insentif kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang mengembangkan teknologi dan melestarikan lingkungan hidup; dan

e. mendorong Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah untuk memperoleh sertifikat hak atas kekayaan intelektual.

BAB VII

PEMBIAYAAN DAN PENJAMINAN

Bagian Kesatu

Pembiayaan dan Penjaminan Usaha Mikro dan Kecil

Pasal 21

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Kecil.

(2) Badan Usaha Milik Negara dapat menyediakan pembiayaan dari penyisihan bagian laba tahunan yang dialokasikan kepada Usaha Mikro dan Kecil dalam bentuk pemberian pinjaman, penjaminan, hibah, dan pembiayaan lainnya.

(3) Usaha Besar nasional dan asing dapat menyediakan pembiayaan yang dialokasikan kepada Usaha Mikro dan Kecil dalam bentuk pemberian pinjaman, penjaminan, hibah, dan pembiayaan lainnya.

(4) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Dunia Usaha dapat memberikan hibah, mengusahakan bantuan luar negeri, dan mengusahakan sumber pembiayaan lain yang sah serta tidak mengikat untuk Usaha Mikro dan Kecil.

(5) Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan insentif dalam bentuk kemudahan persyaratan perizinan, keringanan tarif sarana prasarana, dan bentuk insentif lainnya yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kepada dunia usaha yang menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Kecil.

Pasal 22

Dalam rangka meningkatkan sumber pembiayaan Usaha Mikro dan Usaha Kecil, Pemerintah melakukan upaya:

  1. pengembangan sumber pembiayaan dari kredit perbankan dan lembaga keuangan bukan bank;
  2. pengembangan lembaga modal ventura;
  3. pelembagaan terhadap transaksi anjak piutang;
  4. peningkatan kerjasama antara Usaha Mikro dan Usaha Kecil melalui koperasi simpan pinjam dan koperasi jasa keuangan konvensional dan syariah; dan
  5. pengembangan sumber pembiayaan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 23

(1) Untuk meningkatkan akses Usaha Mikro dan Kecil terhadap sumber pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Pemerintah dan Pemerintah Daerah:

a. menumbuhkan, mengembangkan, dan memperluas jaringan lembaga keuangan bukan bank;

b. menumbuhkan, mengembangkan, dan memperluas jangkauan lembaga penjamin kredit; dan

c. memberikan kemudahan dan fasilitasi dalam memenuhi persyaratan untuk memperoleh pembiayaan.

(2) Dunia Usaha dan masyarakat berperan serta secara aktif meningkatkan akses Usaha Mikro dan Kecil terhadap pinjaman atau kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:

a. meningkatkan kemampuan menyusun studi kelayakan usaha;

b. meningkatkan pengetahuan tentang prosedur pengajuan kredit atau pinjaman; dan

c. meningkatkan pemahaman dan keterampilan teknis serta manajerial usaha.

Bagian Kedua

Pembiayaan dan Penjaminan Usaha Menengah

Pasal 24

Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pemberdayaan Usaha Menengah dalam bidang pembiayaan dan penjaminan dengan:

  1. memfasilitasi dan mendorong peningkatan pembiayaan modal kerja dan investasi melalui perluasan sumber dan pola pembiayaan, akses terhadap pasar modal, dan lembaga pembiayaan lainnya; dan
  2. mengembangkan lembaga penjamin kredit, dan meningkatkan fungsi lembaga penjamin ekspor.

BAB VIII

KEMITRAAN

Pasal 25

(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha dan masyarakat memfasilitasi, mendukung, dan menstimulasi kegiatan kemitraan, yang saling membutuhkan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan.

(2) Kemitraan antar-Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan Kemitraan antara Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan Usaha Besar mencakup proses alih keterampilan di bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumberdaya manusia, dan teknologi.

(3) Menteri dan menteri teknis mengatur pemberian insentif kepada Usaha Besar yang melakukan kemitraan dengan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah melalui inovasi dan pengembangan produk berorientasi ekspor, penyerapan tenaga kerja, penggunaan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan, serta menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan.

Pasal 26

Kemitraan dilaksanakan dengan pola:

a. inti-plasma;

b. subkontrak;

c. waralaba;

d. perdagangan umum;

e. distribusi dan keagenan; dan

f. bentuk-bentuk kemitraan lain, seperti: bagi hasil, kerjasama operasional, usaha patungan (joint venture), dan penyumberluaran (outsourcing).

Pasal 27

Pelaksanaan kemitraan dengan pola inti-plasma sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a, Usaha Besar sebagai inti membina dan mengembangkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, yang menjadi plasmanya dalam:

a. penyediaan dan penyiapan lahan;

b. penyediaan sarana produksi;

c. pemberian bimbingan teknis produksi dan manajemen usaha;

d. perolehan, penguasaan, dan peningkatan teknologi yang diperlukan;

e. pembiayaan;

f. pemasaran;

g. penjaminan;

h. pemberian informasi; dan

i. pemberian bantuan lain yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan produktivitas dan wawasan usaha.

Pasal 28

Pelaksanaan kemitraan usaha dengan pola subkontrak sebagaimana dimaksud Pasal 26 huruf b, untuk memproduksi barang dan/atau jasa, Usaha Besar memberikan dukungan berupa:

a. kesempatan untuk mengerjakan sebagian produksi dan/atau komponennya;

b. kesempatan memperoleh bahan baku yang diproduksi secara berkesinambungan dengan jumlah dan harga yang wajar;

c. bimbingan dan kemampuan teknis produksi atau manajemen;

d. perolehan, penguasaan, dan peningkatan teknologi yang diperlukan;

e. pembiayaan dan pengaturan sistem pembayaran yang tidak merugikan salah satu pihak; dan

f. upaya untuk tidak melakukan pemutusan hubungan sepihak.

Pasal 29

(1) Usaha Besar yang memperluas usahanya dengan cara waralaba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf c, memberikan kesempatan dan mendahulukan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang memiliki kemampuan.

(2) Pemberi waralaba dan penerima waralaba mengutamakan penggunaan barang dan/atau bahan hasil produksi dalam negeri sepanjang memenuhi standar mutu barang dan jasa yang disediakan dan/atau dijual berdasarkan perjanjian waralaba.

(3) Pemberi waralaba wajib memberikan pembinaan dalam bentuk pelatihan, bimbingan operasional manajemen, pemasaran, penelitian, dan pengembangan kepada penerima waralaba secara berkesinambungan.

PPasal 30

(1) Pelaksanaan kemitraan dengan pola perdagangan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf d, dapat dilakukan dalam bentuk kerjasama pemasaran, penyediaan lokasi usaha, atau penerimaan pasokan dari Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah oleh Usaha Besar yang dilakukan secara terbuka.

(2) Pemenuhan kebutuhan barang dan jasa yang diperlukan oleh Usaha Besar dilakukan dengan mengutamakan pengadaan hasil produksi Usaha Kecil atau Usaha Mikro sepanjang memenuhi standar mutu barang dan jasa yang diperlukan.

(3) Pengaturan sistem pembayaran dilakukan dengan tidak merugikan salah satu pihak.

Pasal 31

Dalam pelaksanaan kemitraan dengan pola distribusi dan keagenan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf e, Usaha Besar dan/atau Usaha Menengah memberikan hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa kepada Usaha Mikro dan/atau Usaha Kecil.

Pasal 32

Dalam hal Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah menyelenggarakan usaha dengan modal patungan dengan pihak asing, berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 33

Pelaksanaan kemitraan usaha yang berhasil, antara Usaha Besar dengan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dapat ditindaklanjuti dengan kesempatan pemilikan saham Usaha Besar oleh Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

Pasal 34

(1) Perjanjian kemitraan dituangkan dalam perjanjian tertulis yang sekurang-kurangnya mengatur kegiatan usaha, hak dan kewajiban masing-masing pihak, bentuk pengembangan, jangka waktu, dan penyelesaian perselisihan.

(2) Perjanjian kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan kepada pihak yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Perjanjian kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh bertentangan dengan prinsip dasar kemandirian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah serta tidak menciptakan ketergantungan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah terhadap Usaha Besar.

(4) Untuk memantau pelaksanaan kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), Menteri dapat membentuk lembaga koordinasi kemitraan usaha nasional dan daerah.

Pasal 35

(1) Usaha Besar dilarang memiliki dan/atau menguasai Usaha Mikro, Kecil, dan/atau Menengah sebagai mitra usahanya dalam pelaksanaan hubungan kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26.

(2) Usaha Menengah dilarang memiliki dan/atau menguasai Usaha Mikro dan/atau Usaha Kecil mitra usahanya.

Pasal 36

(1) Dalam melaksanakan kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 para pihak mempunyai kedudukan hukum yang setara dan terhadap mereka berlaku hukum Indonesia.

(2) Pelaksanaan kemitraan diawasi secara tertib dan teratur oleh lembaga yang dibentuk dan bertugas untuk mengawasi persaingan usaha sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 37

Ketentuan lebih lanjut mengenai pola kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IX

KOORDINASI DAN PENGENDALIAN PEMBERDAYAAN

USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH

Pasal 38

(1) Menteri melaksanakan koordinasi dan pengendalian pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

(2) Koordinasi dan pengendalian pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara nasional dan daerah yang meliputi: penyusunan dan pengintegrasian kebijakan dan program, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, serta pengendalian umum terhadap pelaksanaan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, termasuk penyelenggaraan kemitraan usaha dan pembiayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan koordinasi dan pengendalian pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB X

SANKSI ADMINISTRATIF DAN KETENTUAN PIDANA

Bagian Kesatu

Sanksi Administratif

Pasal 39

(1) Usaha Besar yang melanggar ketentuan Pasal 35 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00(sepuluh milyar rupiah) oleh instansi yang berwenang.

(2) Usaha Menengah yang melanggar ketentuan Pasal 35 ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) oleh instansi yang berwenang.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua

Ketentuan Pidana

Pasal 40

Setiap orang yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan mengaku atau memakai nama Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sehingga mendapatkan kemudahan untuk memperoleh dana, tempat usaha, bidang dan kegiatan usaha, atau pengadaan barang dan jasa untuk pemerintah yang diperuntukkan bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dipidana dengan pidana penjara paling lama 5(lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).

BAB XI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 41

Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Undang-Undang ini ditetapkan paling lambat 12 bulan (dua belas) bulan atau 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 42

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 3611) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 43

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Usaha Kecil dan Menengah dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Pasal 44

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 4 Juli 2008.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 4 Juli 2008.

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

ttd

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 93

Kewirausahaan

Kewirausahaan
Tentang Kewirausahaan

Personel LAPENKOP Nasional

Personel LAPENKOP Nasional
Personel LAPENKOP Nasional

LOGO HARI KOPERASI KE-61

LOGO HARI KOPERASI KE-61

LAPENKOP Nasional

LAPENKOP Nasional
Kantor

Keputusan Rapat Anggota dalam Koperasi merupakan keputusan tertinggi ?

DEKOPIN

ICA