KEMBALI KE PERSOALAN DASAR
Oleh Sri-Edi Swasono
Para pendiri bangsa kita sejak prakemerdekaan telah menegaskan penolakannya terhadap liberalisme dan individualisme yang menjadi roh kapitalisme. Kapitalisme selanjutnya berkembang menjadi imperialisme.
Mari kita perhatikan secarik catatan perjuangan Soekarno dan Hatta menentang penjajahan. Soekarno menggugat di Pengadilan Bandung pada 1930. Pleidoinya berjudul "Indonesia Klaagt-Aan" menegaskan bahwa "...imperialisme berbuahkan 'negeri-negeri mandat', 'daerah pengaruh'... yang di dalam sifatnya 'menaklukkan' negeri orang lain, membuahkan negeri jajahan... syarat yang amat penting untuk pembaikan kembali semua susunan pergaulan hidup Indonesia itu ialah Kemerdekaan Nasional..."
Dua tahun sebelumnya Hatta menuding Pengadilan Den Haag pada 1928 dalam pleidoinya "Indonesia Vrij". Di situ Hatta menegaskan, "...lebih baik Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada menjadi embel-embel bangsa lain..."
Pada Sidang BPUPKI 15 Juli 1945, Soekarno-Hatta sama-sama menyatakan bahwa Negara Indonesia didirikan berdasar rasa bersama. Dari situlah paham bernegara berdasarkan "kebersamaan dan asas kekeluargaan" digariskan dalam konstitusi.
Dasar sistem ekonomi
Paham kebersamaan dan asas kekeluargaan dimunculkan Hatta sebagai dasar sistem ekonomi Indonesia ke dalam UUD 1945 dengan istilah demokrasi ekonomi. Memang Hatta pada edisi pertama majalah perjuangan Daulat Ra'jat (20/9/1931) menyatakan, "...Bagi kita, ra'jat itoe jang oetama, ra'jat oemoem jang mempoenjai kedaoelatan, kekoeasaan (souvereiniteit). Karena ra'jat itoe djantoeng-hati Bangsa. Dan ra'jat itoelah jang mendjadi oekoeran tinggi rendah deradjat kita. Dengan ra'jat itoe kita akan naik dan dengan ra'jat kita akan toeroen. Hidoep ataoe matinja Indonesia Merdeka, semoeanja itoe bergantoeng kepada semangat ra'jat. Pengandjoer-pengandjoer dan golongan kaoem terpeladjar baroe ada berarti, kalaoe dibelakangnja ada ra'jat jang sadar dan insjaf akan kedaoelatan dirinja..."
Artinya, Hatta memosisikan rakyat sebagai sentral-substansial, "takhta adalah milik rakyat". Dari sini lahirlah konsepsi tentang demokrasi ekonomi dengan makna utama "kemakmuran masyarakat lebih utama dari kemakmuran orang-seorang", tersurat dalam Penjelasan UUD 1945 (asli). Penjelasan UUD 1945 ini kemudian dihilangkan melalui Amandemen UUD 1945. Namun, Penjelasan untuk Pasal 33 UUD 1945 (Demokrasi Ekonomi) sebagai referensi dan interpretasi otentik tetap berlaku.
Maria Soeprapto yang sekarang hakim Mahkamah Konstitusi juga telah menyatakan (2005) bahwa "...bagi pasal-pasal yang belum diubah tentunya penjelasan pasal-pasal tersebut masih berlaku dan sesuai dengan makna dan rumusan dalam pasal-pasalnya, misalnya Penjelasan Pasal 4, Pasal 22, dan Pasal 33 ayat (1), (2), dan (3)..."
Para pendiri bangsa menempatkan paham kolonial liberalistik yang berasas per orang pada posisi temporer dan menggantinya dengan paham kebersamaan dan asas kekeluargaan yang diberi posisi permanen melalui Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Artinya, pembangunan haruslah demi kemakmuran rakyat untuk mencapai societal welfare and happiness, tidak boleh menjadi proses dehumanisasi kapitalistik.
Diskursus mengenai liberalisme-individualisme versus kebersamaan dan asas kekeluargaan mungkin tak lagi menarik bagi kalangan ekonom kita saat ini. Namun, kiranya perlu kita ungkap untuk merespons sarasehan ekonomi yang baru-baru ini diadakan. Dipandu oleh Prof Soebroto dan dibuka oleh Jakob Oetama (Kompas, 6/7), sarasehan itu menyimpulkan "arah ekonomi merisaukan" dan "ruh pembangunan untuk rakyat hilang".
Jangan direduksi
UUD 1945 yang mendudukkan posisi rakyat sebagai sentral-substansial ini hendaknya tidak direduksi menjadi marjinal-residual sehingga daulat rakyat tersisih oleh daulat pasar (baca: daulat kapital), tetapi tetap berorientasi pada kepentingan rakyat dan tidak memosisikan kapital sebagai yang primus.
Kita menyaksikan bahwa ekonomi pasar telah gagal mengurangi kemiskinan rakyat dan gagal mengakhiri pengangguran berkelanjutan. Berkat daulat pasar, pembangunan makin terlihat menggusur orang miskin dan tidak menggusur kemiskinan. Pembangunan makin tampak merupakan sekadar pembangunan di Indonesia, bukan pembangunan Indonesia. Ini jauh dari cita-cita menjadi Tuan di Negeri Sendiri. Bisa-bisa rakyat menjadi penonton dan kembali menjadi kuli di negeri sendiri. Retorika ini diteriakkan makin santer!
Benarlah Hendri Saparini (Kompas, 7/7): kita secepatnya kembali ke Pancasila dan UUD 1945, kembali ke roh ekonomi konstitusi. Presiden SBY dalam pidato kenegaraan 14 Agustus 2009 di DPR menegaskan bahwa "kita tidak boleh terjerat, menyerah, dan tersandera oleh kapitalisme global yang fundamental." Di depan DPD 19 Agustus 2009 Presiden SBY menyatakan pula: "trickle-down effect (yang kapitalistik) telah gagal menciptakan kemakmuran untuk semua." Ini berarti presiden memberi harapan datangnya masa besar atau der grosse Moment.
Peraih Nobel Ekonomi 1970 Paul Samuelson selaku pembaku istilah dan pengertian ekonomi membuat ekonom seluruh dunia bisa saling bicara dalam bahasa ekonomi yang sama. Bukunya, Economics, merupakan buku induk pengajaran ilmu ekonomi. Pengajaran ekonomi di Indonesia terpaku pada buku induk dan buku teks lain ala Samuelson.
Dalam buku Samuelson edisi pertama (1948) sampai edisi ke-18 (2005) tak ditemukan satu pun perkataan cooperation (kerja sama). Artinya, sejak awal pengajaran ilmu ekonomi, mahasiswa kita hanya terekspos oleh ekonomi persaingan yang menjadi dasar liberalisme ekonomi dan kapitalisme. Ekonomi kerja sama tak dikenal dalam buku induk ilmu ekonomi yang diajarkan di kampus kita. Akibatnya, kerangka pikir mereka terkapsul oleh ekonomi persaingan, diasingkan dari ekonomi kerja sama dan kebersamaan.
Hal ini memudahkan para lulusan menerima liberalisme dan kapitalisme, mewajarkan persaingan bebas dan saling rebut yang menjauhkan kerukunan. Pembangunan tak boleh dilihat dari sekadar meningkatnya GNP atau nilai tambah ekonomi, tetapi juga nilai tambah sosial-kultural, yang memuliakan rakyat, mewujudkan keadilan sosial, dan meningkatkan rasa kebersamaan kohesif dalam kehidupan bermasyarakat.
Saya ikut membenarkan kesimpulan sarasehan ekonomi Kompas: "ruh pembangunan untuk rakyat telah hilang". Bahkan, Michael Hudson (2003) menegaskan bahwa imperialisme berkembang jadi superimperialisme seperti sekarang dengan segala model hegemoni ekonomi serba canggih. Kita tak boleh lengah. Diperlukan kepemimpinan nasional yang tangguh dan taat konstitusi.
Sri-Edi Swasono Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
sumber: http://cetak.kompas.com/read/2010/08/12/03062536/kembali.ke.persoalan.dasar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar